Setahun pernikahan.
Orang-orang masih sering  menanyakan hal itu, masih sering berbisik-bisik di belakang Nania, apa  sebenarnya yang dia lihat dari Rafli. Jeleknya, Nania masih belum mampu juga  menjelaskan kelebihan-kelebihan Rafli agar tampak di mata mereka. 
Nania  hanya merasakan cinta begitu besar dari Rafli, begitu besar hingga Nania bisa  merasakannya hanya dari sentuhan tangan, tatapan mata, atau cara dia meladeni  Nania. Hal-hal sederhana yang membuat perempuan itu sangat  bahagia.
"Tidak ada lelaki yang bisa mencintai sebesar cinta Rafli pada  Nania."
Nada suara Nania tegas, mantap, tanpa keraguan.
Ketiga  saudara Nania hanya memandang lekat, mata mereka terlihat tak  percaya.
"Nia, siapapun akan mudah mencintai gadis  secantikmu!"
"Kamu adik kami yang tak hanya cantik, tapi juga  pintar!"
"Betul. Kamu adik kami yang cantik, pintar, dan punya kehidupan  sukses!"
Nania merasa lidahnya kelu. Hatinya siap memprotes.
Dan  kali ini dilakukannya sungguh-sungguh. Mereka tak boleh meremehkan  Rafli.
Beberapa lama keempat adik dan kakak itu beradu argumen.
Tapi  Rafli juga tidak jelek, Kak!
Betul. Tapi dia juga tidak ganteng  kan?
Rafli juga pintar!
Tidak sepintarmu, Nania.
Rafli juga  sukses, pekerjaannya lumayan.
Hanya lumayan, Nania. Bukan sukses. Tidak  sepertimu.
Seolah tak ada apapun yang bisa meyakinkan kakak-kakaknya,  bahwa adik mereka beruntung mendapatkan suami seperti Rafli. Lagi-lagi  percuma.
"Lihat hidupmu, Nania. Lalu lihat Rafli! Kamu sukses, mapan,  kamu bahkan tidak perlu lelaki untuk menghidupimu."
Teganya kakak-kakak  Nania mengatakan itu semua.
Padahal adik mereka sudah menikah dan  sebentar lagi punya anak.
Ketika lima tahun pernikahan berlalu, ocehan  itu tak juga berhenti. Padahal Nania dan Rafli sudah memiliki dua orang anak,  satu lelaki dan satu perempuan. Keduanya menggemaskan. Rafli bekerja lebih rajin  setelah mereka memiliki anak-anak. Padahal itu tidak perlu sebab gaji Nania  lebih dari cukup untuk hidup senang.
"Tak apa," kata lelaki itu, ketika  Nania memintanya untuk tidak terlalu memforsir diri.
"Gaji Nania cukup,  maksud Nania jika digabungkan dengan gaji Abang."
Nania tak bermaksud  menyinggung hati lelaki itu.
Tapi dia tak perlu khawatir sebab suaminya  yang berjiwa besar selalu bisa menangkap hanya maksud baik.
"Sebaiknya  Nania tabungkan saja, untuk jaga-jaga. Ya?"
Lalu dia mengelus pipi Nania  dan mendaratkan kecupan lembut. Saat itu sesuatu seperti kejutan listrik  menyentakkan otak dan membuat pikiran Nania cerah.
Inilah hidup yang  diimpikan banyak orang. Bahagia!
Pertanyaan kenapa dia menikahi laki-laki  biasa, dari keluarga biasa, dengan pendidikan biasa, berpenampilan biasa, dengan  pekerjaan dan gaji yang amat sangat biasa, tak lagi mengusik perasaan  Nania.
Sebab ketika bahagia, alasan-alasan menjadi tidak  penting.
Menginjak tahun ketujuh pernikahan, posisi Nania di kantor  semakin gemilang, uang mengalir begitu mudah, rumah Nania besar, anak-anak  pintar dan lucu, dan Nania memiliki suami terbaik di dunia. Hidup perempuan itu  berada di puncak!
Bisik-bisik masih terdengar, setiap Nania dan Rafli  melintas dan bergandengan mesra. Bisik 
orang-orang di kantor, bisik tetangga  kanan dan kiri, bisik saudara-saudara Nania, bisik Papa dan Mama.
Sungguh  beruntung suaminya. Istrinya cantik.
Cantik ya? dan kaya!
Tak  imbang!
Dulu bisik-bisik itu membuatnya frustrasi. Sekarang pun masih,  tapi Nania belajar untuk bersikap cuek tidak peduli. Toh dia hidup dengan  perasaan bahagia yang kian membukit dari hari ke hari. 
Tahun kesepuluh  pernikahan, hidup Nania masih belum bergeser dari puncak. Anak-anak semakin  besar. Nania mengandung yang ketiga. Selama kurun waktu itu, tak sekalipun Rafli  melukai hati Nania, atau membuat Nania menangis.
Karya Asma Nadia  dari kumpulan cerpen Cinta Laki-laki Biasa
Related Post
Cinta Laki-Laki Biasa (Bag. II)
2011-08-01T11:38:00+07:00
Gumuksari
Inspirasi|