“Manusia tidak jatuh ‘ke dalam’ cinta, dan tidak juga keluar ‘dari cinta’. Tapi manusia tumbuh dan besar dalam cinta”.
Cinta, di banyak waktu dan peristiwa orang selalu berbeda  mengartikannya. Tak ada yang salah, tapi tak ada juga yang benar  sempurna penafsirannya. Karena cinta selalu berkembang, ia seperti udara  yang mengisi ruang kosong. Cinta juga seperti air yang mengalir ke  dataran yang lebih rendah.
Tapi ada satu yang bisa kita sepakati bersama tentang cinta. Bahwa  cinta, akan membawa sesuatu menjadi lebih baik, membawa kita untuk  berbuat lebih sempurna. Mengajarkan pada kita betapa, besar kekuatan  yang dihasilkannya. Cinta membuat dunia yang penat dan bising ini terasa  indah, paling tidak bisa kita nikmati dengan cinta.
Cinta mengajarkan pada kita, bagaimana caranya harus berlaku jujur  dan berkorban, berjuang dan menerima, memberi dan mempertahankan.  Teringat kisah Bandung Bondowoso yang tak tanggung-tanggung membangunkan  seluruh jin dari tidurnya dan menegakkan seribu candi untuk  Lorojonggrang seorang. Sakuriang tak kalah dahsyatnya, diukirnya tanah  menjadi sebuah telaga dengan perahu yang megah dalam semalam demi Dayang  Sumbi terkasih yang ternyata ibu sendiri. Tajmahal yang indah di India,  di setiap jengkal marmer bangunannya terpahat nama kekasih buah hati  sang raja juga terbangun karena cinta. Bisa jadi, semua kisah besar  dunia, berawal dari cinta.Cinta adalah kaki-kaki yang melangkah  membangun samudera kebaikan. Cinta adalah tangan-tangan yang merajut  hamparan permadani kasih sayang. Cinta adalah hati yang selalu berharap  dan mewujudkan dunia dan kehidupan yang lebih baik.
Dan Islam tidak saja mengagungkan cinta tapi memberikan contoh  kongkrit dalam kehidupan. Lewat kehidupan manusia mulia, Rasulullah  tercinta.
Ada sebuah kisah tentang totalitas cinta yang dicontohkan Allah lewat  kehidupan Rasul-Nya. Pagi itu, meski langit telah mulai menguning,  burung-burung gurun enggan mengepakkan sayap. Pagi itu, Rasulullah  dengan suara terbata memberikan petuah, “Wahai umatku, kita semua ada  dalam kekuasaan Allah dan cinta kasih-Nya. Maka taati dan bertakwalah  kepada-Nya. Kuwariskan dua hal pada kalian, sunnah dan Al Qur’an. Barang  siapa mencintai sunnahku, berati mencintai aku dan kelak orang-orang  yang mencintaiku, akan bersama-sama masuk surga bersama aku.”
Khutbah singkat itu diakhiri dengan pandangan mata Rasulullah yang  teduh menatap sahabatnya satu persatu. Abu Bakar menatap mata itu dengan  berkaca-kaca, Umar dadanya naik turun menahan napas dan tangisnya.  Ustman menghela napas panjang dan Ali menundukkan kepalanya dalam-dalam.
Isyarat itu telah datang, saatnya sudah tiba. “Rasulullah akan  meninggalkan kita semua,” desah hati semua sahabat kala itu. Manusia  tercinta itu, hampir usai menunaikan tugasnya di dunia. Tanda-tanda itu  semakin kuat, tatkala Ali dan Fadhal dengan sigap menangkap Rasulullah  yang limbung saat turun dari mimbar. Saat itu, seluruh sahabat yang  hadir di sana pasti akan menahan detik-detik berlalu, jika mungkin.
Matahari kian tinggi, tapi pintu Rasulullah masih tertutup. Sedang di  dalamnya, Rasulullah sedang terbaring lemah dengan keningnya yang  berkeringat dan membasahi pelepah kurma yang menjadi alas tidurnya.
Tiba-tiba dari luar pintu terdengar seorang yang berseru mengucapkan  salam. “Bolehkah saya masuk?” tanyanya. Tapi Fatimah tidak  mengizinkannya masuk, “Maafkanlah, ayahku sedang demam,” kata Fatimah  yang membalikkan badan dan menutup pintu. Kemudian ia kembali menemani  ayahnya yang ternyata sudah membukan mata dan bertanya pada Fatimah,  “Siapakah itu wahai anakku?”
“Tak tahulah aku ayah, sepertinya ia baru sekali ini aku melihatnya,”  tutur Fatimah lembut. Lalu, Rasulullah menatap putrinya itu dengan  pandangan yang menggetarkan. Satu-satu bagian wajahnya seolah hendak di  kenang.
“Ketahuilah, dialah yang menghapuskan kenikmatan sementara, dialah yang memisahkan pertemuan di dunia. Dialah malakul maut,” kata Rasulullah, Fatimah pun menahan ledakkan tangisnya.
“Ketahuilah, dialah yang menghapuskan kenikmatan sementara, dialah yang memisahkan pertemuan di dunia. Dialah malakul maut,” kata Rasulullah, Fatimah pun menahan ledakkan tangisnya.
Malaikat maut datang menghampiri, tapi Rasulullah menanyakan kenapa  Jibril tak ikut menyertai. Kemudian dipanggilah Jibril yang sebelumnya  sudah bersiap di atas langit dunia menyambut ruh kekasih Allah dan  penghulu dunia ini.
“Jibril, jelaskan apa hakku nanti dihadapan Allah?” Tanya Rasululllah dengan suara yang amat lemah.
“Pintu-pintu langit telah terbuka, para malaikat telah menanti ruhmu.  Semua surga terbuka lebar menanti kedatanganmu,” kata jibril. Tapi itu  ternyata tak membuat Rasulullah lega, matanya masih penuh kecemasan.
“Engkau tidak senang mendengar kabar ini?” Tanya Jibril lagi.
“Kabarkan kepadaku bagaimana nasib umatku kelak?”
“Jangan khawatir, wahai Rasul Allah, aku pernah mendengar Allah  berfirman kepadaku: “Kuharamkan surga bagi siapa saja, kecuali umat  Muhammad telah berada di dalamnya,” kata Jibril.
Detik-detik semakin dekat, saatnya Izrail melakukan tugas. Perlahan  ruh Rasulullah ditarik Tampak seluruh tubuh Rasulullah bersimbah peluh,  urat-urat lehernya menegang. “Jibril, betapa sakit sakaratul maut ini.”  Lirih Rasulullah mengaduh. Fatimah terpejam, Ali yang di sampingnya  menunduk semakin dalam dan Jibril membuang muka.
“Jijikkah kau melihatku, hingga kau palingkan wajahmu Jibril?” Tanya Rasulullah pada Malaikat pengantar wahyu itu.
“Siapakah yang tega, melihat kekasih Allah direnggut ajal,” kata  Jibril. Sebentar kemudian terdengar Rasulullah memekik, karena sakit  yang tak tertahankan lagi. “Ya Allah, dahsyat niat maut ini, timpakan  saja semua siksa maut ini kepadaku, jangan pada umatku.”
Badan Rasulullah mulai dingin, kaki dan dadanya sudah tak bergerak  lagi. Bibirnya bergetar seakan hendak membisikkan sesuatu, Ali segera  mendekatkan telinganya. “Uushiikum bis shalati, wa maa malakat aimanuku,  peliharalah shalat dan santuni orang-orang lemah di antaramu.”
Di luar pintu tangis mulai terdengar bersahutan, sahabat saling  berpelukan. Fatimah menutupkan tangan di wajahnya, dan Ali kembali  mendekatkan telingan ke bibir Rasulullah yang mulai kebiruan.
“Ummatii, ummatii, ummatiii” Dan, pupuslah kembang hidup manusia mulia itu. Kini, mampukah kita mencinta sepertinya?...
